Teh Titin, Warung Nasi, dan Dedikasi

Teh Titin adalah salah seorang pedagang makanan matang di kota Bandung. Sebagian besar pelanggan warung nasi teh Titin adalah disabilitas netra (tunanetra). Setiap hari teh Titin bisa berpuluh kali mengulang menyebutkan jenis makanan yang ia masak hari itu bagi pelanggannya yg tunanetra, yg tidak bisa melihat masakan apa yg dibuat oleh teh Titin. Meski ia baru saja selesai menyebutkan, jika ada pelanggan tunanetra yg baru datang dan menanyakan menu yg ia buat, ia tidak akan segan untuk menyebutkan lagi, dan lagi. Menu yang dimasak teh Titin setiap hari paling sedikit sepuluh macam, ditambah berbagai jenis gorengan yg juga ia jual. Terus begitu sepanjang warungnya buka, setiap hari.

Sebut saja Ahmad, salah satu pelanggan warung teh Titin. Pilihan menu Ahmad cukup standar, tidak jauh dari ayam, daging, atau tempe. Ia bukan penyuka makanan laut. Tetapi, teh Titin selalu menyebutkan semua menu yg ada setiap Ahmad datang, termasuk makanan yg sejatinya tidak akan pernah dibeli Ahmad, makanan laut. Bukan karena teh Titin sudah mengenal Ahmad, dan tahu preferensinya, lantas ia hanya menyebutkan apa yg akan dipilih Ahmad. Bukan karena pelanggan warungnya tunanetra, lantas teh Titin menyebutkan menu yg dia ingin sebut saja, yg kira2 disukai pelanggannya.

Tidak, sekali lagi tidak. Teh Titin tetap konsisten menyebut setiap menu yg ia buat meski ia tahu si pelanggan tidak akan memilih menu itu. Ia tetap konsisten menyebut setiap menu, meski pelanggannya memiliki keterbatasan penglihatan, dan ia bisa saja tidak menyebutkan menu tertentu tanpa diketahui pelanggannya. Ia tetap konsisten, meski harus puluhan kali mengulang menyebutkan menunya.

Teh Titin memberi kesempatan sepenuh-penuhnya kepada pelanggannya yg tunanetra utk memilih menu yg mereka inginkan. Teh Titin memposisikan dirinya sebagai pelayan, dan pelanggannya sebagai raja, tanpa membedakan. Ia paham betul resiko memberi pelayanan bagi pelanggannya yang tunanetra dan ia jalani dg penuh dedikasi dan kesadaran. Teh Titin membuktikan bahwa dedikasi bukan produk pendidikan tinggi, tapi datang dari hati.

Saya selalu kagum pada konsistensinya; intonasi suara yang tidak pernah berubah ketika menyebutkan makanan meski harus puluhan kali mengulang; dan keramahan yg tidak pernah berubah setiap kali menyapa pelanggannya.

Jangan berubah teh Titin, semoga Allah senantiasa merahmati teteh..

*nama kedua tokoh di atas sama sekali tidak disamarkan, dan ini cerita dari kaca mata saya; jika ada yg punya cerita berbeda, ayo buat tulisan sendiri

Tagged: , , , ,

Leave a comment